Filsuf
Perancis, Charles de Secondat de Montesquieu (1689-1755) alias Montesquieu dalam
bukunya “De l esprit des lois” (1748) pada Bab IV alinea ke-2 mengatakan
“Pour qu on ne puisse abuser du pouvoir, il faut que, par la disposition des
choses, le pouvoir arrete le pouvoir” yang dalam terjemahan bebasnya adalah
“agar seseorang tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya, maka perlu kekuasaan
diawasi oleh kekuasaan.” Kalimat tersebut bersambung dengan penegasan “Une
constitution peut etre telle que personne ne sera contraint de faire les choses
auxquelles la loi ne leoblige pas, et a ne point faire celles que la loi lui
permet”, yaitu sebuah konstitusi diperlukan sehingga tidak ada yang dipaksa
untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh hukum, dan tidak melakukan
apa yang tidak diizinkan oleh hukum. Kekuasaan yang dimaksud dalam hal ini
adalah konstitusi yang dibentuk untuk mengawasi kekuasaan. Konsep ini merupakan
postulat dalam membatasi kekuasaan eksekutif dalam hubungannya dengan sistem
ketatanegaraan modern.
Konstitusi
yang dimaksudkan dalam konteks ini merupakan konstitusi tertulis yang merupakan
suatu dokumen yang disebut kontrak sosial (dalam bukunya yang berjudul “Du
Contrat Social, Ou Principes Du Droit Politique”, sebagai hasil dari
kesepakatan bersama masyarakat dalam membentuk kehidupan bersama dalam wadah
negara yang mengandung muatan nilai-nilai fundamental dan norma-norma yang
dituangkan secara tertulis dan/atau diberlakukan secara nyata dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara. Norma yang dimaksud merupakan norma hukum,
yang disebut sebagai hukum konstitusi (constitutional law) dan norma
yang terkandung di dalamnya merupakan norma etika, maka hal itu dapat dinamakan
sebagai etika konstitusi (constitutional ethics) (Asshiddiqie, 2014).
Pengalaman
Indonesia pra-reformasi, Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR)
sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, yang terjadi adalah
supremasi institusi, bukan supremasi konstitusi, sebagaimana yang pernah diulas
oleh Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008) dalam
bukunya yang berjudul “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi” (2014). Pasca
reformasi, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi
sederajat dengan lembaga konstitusional lainnya. MPR diikat mekanisme “checks
and balances” atau saling mengimbangi dan saling mengawasi satu sama lain
dari sistem supremasi institusi menjadi supremasi konstitusi sebagai “rule
of the game” yang tercermin dalam aturan-aturan hukum dan etikanya menurut
konstitusi (the supreme rules of the constitution).
Konstitusi Sebagai Rule of
The Game
Berbicara
tentang periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden, konstitusi
merupakan “rule of the game” yang mengatur pembatasan lamanya presiden
dan wakil presiden dalam memimpin negara. Ketentuan ini diatur pada Pasal 7 UUD
1945 dan dipertegas pada Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI dan Pasal 169 huruf n
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sri
Soemantri Martosoewignjo dalam tulisannya berjudul “Fungsi Konstitusi dalam
Pembatasan Kekuasaan” (1996) menyebutkan bahwa pembatasan kekuasaan yang
tercantum dalam konstitusi menyangkut dua hal, pertama pembatasan kekuasaan
yang berkenaan dengan isinya, dan kedua, pembatasan kekuasaan yang berkenaan
dengan waktu. Pembatasan kekuasaan tentang isi berkaitan dengan tugas, wewenang
serta, berbagai macam hak yang diberikan kepada masing-masing lembaga,
sedangkan pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu berkenaan dengan
masa jabatan yang diberikan kepada pejabat yang memegang jabatan serta berapa
kali seorang pejabat dapat dipilih kembali. Sri Soemantri juga menyebutkan
kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang terus-menerus, selain menghambat
regenerasi kepemimpinan, juga berpotensi untuk disalahgunakan. Di satu sisi
presiden dan wakil presiden mempunyai (diberi) kekuasaan, namun di sisi lain
kekuasaan mempunyai kecenderungan disalahgunakan apabila kekuasaan tersebut
melekat pada jabatan (Soemantri, 2001).
Terkait
pengaturan dan pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden ini, senada
dengan Sri Soemantri, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul “Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia” (2006) mengatakan, pembatasan dan
pengendalian dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan merupakan prinsip
konstitusionalisme moderen. Dituntut pengaturan dan pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dirumuskan di dalam konstitusi.
Pembatasan Masa Jabatan
Menurut
pandangan Sir Kenneth Clinton Wheare FBA (selanjutnya
disebut KC Wheare), seorang ahli konstitusi Persemakmuran Inggris,
dalam bukunya “Modern Constitution” (1975), pada bagian keempat tulisan
tersebut memuat perihal bagaimana konstitusi berubah, yaitu melalui usage (kebiasaan)
dan convention (tradisi), mengungkapkan pengalaman Republik
Perancis ketiga dan Amerika Serikat (selanjutnya disingkat AS) dalam membatasi
masa jabatan presiden. KC Wheare memaparkan bahwa Republik
Perancis ketiga dan Amerika Serikat (AS) merupakan contoh menarik mengenai apa
yang tampaknya menjadi pembatalan wewenang hukum yang diberikan dalam
konstitusi. Hingga tahun 1939 tampaknya sudah menjadi tradisi yang mapan di
Perancis bahwa presiden tidak boleh dipilih kembali, tetapi merasa cukup dengan
satu kali masa jabatan (tujuh tahun) dan di AS presiden tidak boleh dipilih
lebih dari dua kali. Tetapi pada tahun 1939 Presiden Republik Perancis, M.
Lebrun, terpilih kembali untuk kedua kalinya atas dasar kondisi kritis yang
menimpa Eropa, dan di AS pada 1940 terpilihnya Presiden Roosevelt untuk
ketiga kalinya dibenarkan karena alasan kebutuhan akan kelanjutan arah
kebijakan AS ketika bahaya perang menyebar, sebuah argumen yang pada 1944 masih
kuat karena AS pada saat itu terlibat perang (Purwanto, 2017).
Pengalaman
di AS, sebagaimana yang dipaparkan oleh Kristen McKie dalam
tulisannya yang berjudul “Presidential Term Limit Contravention: Abolish,
Extend, Fail, or Respect” (2019) yang dikutip oleh Elshan Yudhistira dalam
tulisannya yang berjudul “Pembatasan Masa Jabatan Presiden Sebagai Upaya
Menghindari Terjadinya "Abuse of Power” (Jurnal Ilmiah Hukum
Al-Ishlah, Vol. 23 No. 2, November 2020), sebagai presiden pertama, George
Washington, membuat kebijakan yang tidak tertulis dimana ia menolak untuk
masa jabatan ketiganya pada tahun 1796. Namun, Franklin D. Roosevelt menggunakan
“kekosongan hukum” mengenai masa jabatan presiden tersebut dengan menjabat
sebagai presiden sebanyak 4 kali sepanjang tahun 1932-1944. Peristiwa
politik Roosevelt ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap
etika konstitusi yang telah diyakini masyarakat AS sebelumnya, namun dengan
dalih “tidak dilarang oleh hukum (konstitusi),‟ maka hal tersebut dianggap
sah dan legal. Pasca Roosevelt, barulah tercipta batasan 2 periode
jabatan presiden melalui kodifikasi Konstitusi AS melalui Amandemen XXII tahun
1951 (diatur dalam Section I Amandemen XXII Konstitusi AS) yang disahkan pada
27 Februari 1951. Dan ketentuan ini juga berlaku sebagai syarat pencalonan
presiden (khusus bagi seseorang yang pernah menjabat sebagai presiden)
(Ramadhan, 2015). Dengan demikian, AS dianggap lebih dulu menerapkan
konstitusionalitas batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagai
persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden yang kerap menjadi rujukan
bagi negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan serupa.
Konsep dan Praktik
Masa Jabatan Presiden
Menurut Elsan Yudisthira, dalam tulisannya yang berjudul “Pembatasan Masa
Jabatan Presiden Sebagai Upaya Menghindari Terjadinya "Abuse of Power”
(Jurnal Ilmiah Hukum Al-Ishlah, Vol. 23 No. 2, November 2020), terdapat 4
(empat) konsep masa jabatan yang sesuai pengalaman negara-negara yang menganut
sistem presidensial, yakni konsep tidak ada kemungkinan untuk mencalonkan diri
lagi sebagai presiden setelah masa jabatan pertamanya selesai (no
re-election) contohnya Afrika Selatan, Brazil, Filiphina, Guatemala, Korea
Selatan, Mexico dan Turki; konsep tidak diperkenankan seorang presiden untuk
mencalonkan diri kembali ketika ia masih memegang jabatan, akan tetapi seorang
mantan presiden bisa mencalonkan diri kembali setidak-tidaknya setelah satu
periode presiden penggantinya menjabat sebagai presiden (no immediate
re-election) contohnya Peru dan Venezuela; konsep seorang presiden bisa
mencalonkan diri kembali satu kali lagi pada periode selanjutnya, sistem ini
yang paling banyak digunakan negara dengan sistem presidensial (only one
re-election) contohnya Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Belarusia,
Madagascar, Malawi, Republik Kongo, Zambia dan Indonesia; dan konsep seorang
presiden bisa mencalonkan diri lagi menjadi presiden tanpa ada batasan periode
(no limitiation re-election) contohnya Benin dan Nikaragua.
Di luar keempat konsep tersebut, ternyata ada konsep lain yang digunakan
negara dengan sistem pemerintahan presidensial, yaitu konsep seorang presiden
bisa mencalonkan diri kembali sebanyak 2 (dua) periode setelah ia menjabat (only
two re-election) contohnya Angola.
Pembentukan dan
Amandemen Konstitusi
Perubahan konstitusi atau undang-undang dasar, menurut Widodo Ekatjahjana
dalam bukunya yang berjudul “Negara Hukum, Konstitusi, dan Demokrasi: Dinamika
Dalam Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” (2015), tidak
hanya terjadi karena perubahan formal (formal amendment) sebagaimana diatur
dalam Pasal 37 UUD 1945, akan tetapi juga karena perubahan-perubahan yang
bersifat non-formal atau ekstra-konstitusional. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan Wheare, yakni “formal amendment” sebagai salah satu cara untuk
mengubah konstitusi.
Secara historis, dinamika konstitusi di Indonesia (sejak 1945 hingga pasca
reformasi) yang mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden,
dapat dilihat melalui beberapa perubahan konstitusi yang mempengaruhi
pengaturan masa jabatan tersebut, yakni: pada periode pertama, pada 18 Agustus
1945-27 Desember 1949 dan periode kedua, pada 5 Juli 1959-19 Oktober 1999,
diatur pada Pasal 7 UUD 1945 dengan menyebutkan presiden dan wakil presiden
memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali;
masa Konstitusi RIS 1949 pada 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 yang tidak
mengatur masa jabatan presiden dan tidak ada jabatan wakil presiden pada saat
ini; masa UUD Sementara 1950 yang tidak mengatur masa jabatan presiden dan
wakil presiden; dan terakhir, masa UUD 1945 pada 19 Oktober 1999 hingga saat
ini yang terdapat ketentuan yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil
presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan.
Dalam perjalanan amandemen UUD 1945 pasca Orde Baru, pengaturan masa
jabatan presiden dan wakil presiden menjadi salah satu agenda utama, yakni
terhadap Pasal 7 UUD 1945 melalui Rapat Sidang Umum MPR ke-12 pada tanggal 19
Oktober 1999 secara eksplisit bahwa presiden dan wakil presiden memegang
jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal 7 UUD 1945 sebelum
amandemen dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan pada zaman Orde Baru
karena pemangku jabatan presiden sangat bergantung kepada MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Dapat dilihat bahwa konstitusionalitas batasan masa jabatan
presiden dan wakil presiden dari perspektif konstitusi-konstitusi yang pernah
dan/atau yang sedang berlaku (ius constitutum) di Indonesia mengalami
dinamisasi yang juga turut dipengaruhi oleh faktor-faktor politis pada masa
tersebut.
Jika mengacu pada ius constitutum, maka konstitusionalitas
batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia diatur dalam
Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama. Namun, rumusan pasal tersebut
dianggap memiliki kelemahan, yaitu, pertama, pasal ini memiliki rumusan yang
membuka celah untuk ditafsirkan berbeda dari original intent pasal tersebut.
Pendekatan original intent, menurut Anthony Mason yang dikutip
oleh Muchamad Ali Safa’at dalam tulisannya yang berjudul “Penafsiran
Konstitusi” (2011) merupakan penafsiran orisinil yang sesuai dengan pengertian
asli dari teks atau istilah yang terdapat dalam konstitusi. Penafsiran ini
biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan, dan struktur
konstitusi. Apabila merujuk kepada original intent perumusan Pasal 7 UUD
1945 terkait batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden dimaksudkan untuk
diberlakukan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut yang
terpenting adalah orang tersebut setelah menjabat dua kali masa jabatan untuk selamanya
tidak dapat menjabat kembali dalam jabatan yang sama tersebut.
Memang, pada prinsipnya tidak semua ketentuan dalam konstitusi harus
dituangkan eksplisit sebagaimana yang dimaksud dalam original intent ketentuan
tersebut, akan tetapi sebaiknya rumusan pasal dalam Undang-Undang Dasar
dihindarkan dari ambiguitas yang kemudian dapat menimbulkan perdebatan karena
terdapat tafsir atau makna yang berbeda-beda terhadap bunyi pasal tersebut.
Dengan demikian, ketentuan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden ini
merupakan ketentuan yang erat kaitannya dengan ranah politik sehingga terbuka
kemungkinan untuk dipolitisasi.
Bentuk kelemahan lainnya yaitu tujuan awal pembentukan Pasal 7 UUD 1945
hasil amandemen pertama, yang mengatur ketentuan batasan masa jabatan presiden
dan wakil presiden bukanlah dimaksudkan sebagai pasal yang secara
konstitusional mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden,
namun pasal ini kemudian diterjemahkan sebagai ketentuan persyaratan tambahan
pencalonan presiden dan wakil presiden yang secara ekspilisit tertuang dalam
Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu,
apabila pasal ini dalam perkembangannya dimaksudkan sebagai pasal yang secara
konstitusional mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden
sebagai persyaratan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, maka
diperlukan perbaikan rumusan sehingga pasal ini juga mampu menjamin
konstitusionalitas pengaturan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden
sebagai persyaratan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. Dengan
demikian dibutuhkan suatu gagasan berupa hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum) untuk menjadi solusi atas adanya kelemahan-kelemahan
tersebut.
Guna menghindari multitafsir atas rumusan Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, dibutuhkan etika konstitusional yang berbasis pada ius constituendum, yaitu dalam bentuk hukum yang dicita-citakan, untuk menghentikan berbagai penafsiran tersebut, maka diperlukan amandemen kelima UUD 1945 sebagai wujud menjaga etika konstitusi dalam pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Sebagai anekdot, Jerremy Paul pernah mengungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “If it Quacks Like a Lame Duck, Can it Lead the Free World? The Case for Relaxing Presidential Term Limits” (Connecticut Law Review Association, University of Connecticut School of Law, 2011) bahwa keefektifan presiden dalam periode lanjutannya seperti “bebek lumpuh”, dengan alasan sejak tahun 1951 di Amerika Serikat ketika amandemen mengenai periode kedua presiden disahkan ada beberapa contoh pemimpin negara yang pada periode selanjutnya bekerja dengan sangat buruk.
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=424