Peningkatan perkara tanah dari 342 putusan incraht di
tingkat kasasi pada tahun 2021 menjadi 583 putusan incraht di
tingkat kasasi pada tahun 2022 (penelusuran melalui website Direktori Putusan
Mahkamah Agung pada 1 Maret 2023) membutuhkan upaya penanganan baik berupa
pencegahan maupun penyelesaian. Perkara tanah merupakan perselisihan pertanahan
yang diselesaikan melalui lembaga peradilan. Selain perkara tanah, perselisihan
pertanahan dapat berupa sengketa tanah dan konflik tanah. Perbedaan sengketa
tanah dan konflik tanah menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasionl (ATR/ Kepala BPN) Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan dapat dibedakan dari dampak yang muncul.
Perselisihan pertanahan (antara orang perseorangan, badan hukum, atau
bahkan lembaga) yang tidak berdampak luas dikategorikan sebagai sengketa tanah.
Sebaliknya, dalam konflik tanah dampak yang timbul sudah atau cenderung
berdampak luas. Perselisihan pertanahan akan menimbulkan efek ganda jika
terjadi saat pelaksanaan pengadaan tanah. Hal ini berdasar selain karena
kepemilikan tanahnya, dalam pengadaan tanah juga terdapat pemberian ganti
kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara.
Dalam peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah dikenal sengketa
kepemilikan yang dimaknai sebagai keberatan terhadap peta bidang tanah dan/atau
daftar nominatif dari pihak lain yang belum diajukan ke pengadilan. Terjadinya
sengketa kepemilikan disiasati dengan ganti kerugian dititipkan melalui
pengadilan (konsinyasi) yang pengambilannya dapat dilakukan setelah ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht) atau berita acara
perdamaian (dading). Di sisi lain, perdamaian yang dilakukan di luar
pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum yang sama seperti Akta Perdamaian (acta
van dading). Namun berdasarkan Pasal 36 Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor
1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perdamaian di luar
pengadilan bisa ditetapkan menjadi Akta Perdamaian apabila didaftarkan kepada
pengadilan melalui pengajuan gugatan. Artinya, jalan pihak-pihak yang
bersengketa atas kepemilikan obyek tanah diarahkan menempuh jalur litigasi.
Mencermati Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(PP Pengadaan Tanah), dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Pengadaan Tanah, menaruh harapan besar pada
lembaga peradilan untuk memberikan kepastian hukum dalam menentukan pihak yang
berhak atas terjadinya sengketa kepemilikan dalam pengadaan tanah.
Penyelesaian sengketa kepemilikan di pengadilan berpedoman pada hukum acara
di Indonesia (peradilan umum, peradilan agama dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Sengketa kepemilikan yang telah diputus masuk pada materi perkara telah incraht sepatutnya
tidak dapat digugat kembali atas obyek yang sama (asas ne bis in idem).
Realitas yang terjadi justru muncul subyek baru untuk menggugat obyek tanah
yang telah dilekati putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Kegamangan
penerapan asas ne bis in idem dalam sengketa kepemilikan juga
sejalan dengan larangan pengadilan menolak perkara (prinsip ius curia
novit yang dalam hukum positif menjelma dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Pertanyaannya adalah,
bagaimana posisi ne bis in idem dalam menyelesaikan sengketa
kepemilikan dalam pengadaan tanah?
Ne bis in idem diartikan bahwa hakim tidak boleh memeriksa dan memutus kedua kalinya
atas perkara yang telah diperiksa dan diputus (Abdul Kadir, 1996:39). Ne
bis in idem sebagai suatu asas berhubungan langsung dengan finalisasi
putusan, kepastian hukum bahkan keterikatan hakim pada putusan incraht (Ilhamdi
Putra dan Khairul Fahmi, 2021:350). Pedoman ne bis in idem di
lingkungan MA diatur dalam Surat Edaran MA Nomor 03 Tahun 2002 tentang
Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Azas Nebis In Idem. Aturan
tersebut menginstruksikan ketua pengadilan untuk serius memperhatikan asas ne
bis in idem agar terlaksana dan menghindari putusan yang berbeda.
Unsur ne bis in idem dalam hukum pidana tegas diatur dalam
Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang menekankan seseorang tidak dapat dituntut kedua kalinya
dalam perkara yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara dalam hukum
perdata, ne bis in idem yang tercermin dalam Pasal 1917 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diharuskan mengenai tuntutan yang
sama, alasan tuntutan yang sama, diajukan oleh pihak yang sama, bahkan hubungan
yang sama antar pihak-pihak tersebut. Unsur pihak dan obyek dalam KUHPerdata
kembali diperinci dengan Surat Edaran MA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan
Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan, bahwa pihak ne bis in idem tidak harus sama persis
dengan perkara terdahulu dengan syarat prinsip pihaknya sama meski terdapat
penambahan pihak. Selain itu syarat ne bis in idem adalah
obyek perkara telah memiliki status dari putusan terdahulu.
Kejelasan status obyek perkara berdasarkan putusan terdahulu menjadi
kesulitan baru untuk mengimplementasikan ne bis in idem pada
perkara yang putusannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard) oleh pengadilan tingkat pertama. Putusan niet
ontvankelijke verklaard ditafsirkan bahwa obyek perkara menjadi tidak
berstatus. Putusan niet ontvankelijke verklaard atas sengketa kepemilikan
pengadaan tanah menyebabkan jangka waktu pelaksanaan pembayaran ganti rugi atas
obyek tanah yang disengketakan kepemilikannya menjadi tidak dapat diprediksikan
meski telah dititipkan di pengadilan.
Pencari keadilan berpeluang mengajukan gugatan baru (pengajuan ulang) dapat
dilakukan kapan pun (tidak ada batas waktu) sebagai akibat dari putusan niet
ontvankelijke verklaard baik sebelum putusannya incraht atau
setelah incraht (Ahmad Z. Anam,2017:1). Putusan niet
ontvankelijke verklaard di tingkat pertama berdasarkan asas ne
bis in idem apakah akan kembali diputus niet ontvankelijke
verklaard pada tingkat banding dan seterusnya. Akhirnya hipotesis yang
diambil dari pendapat ilmiah tersebut bermuara bahwa ada ketidakpastian hukum
atas asas ne bis in idem untuk putusan niet ontvankelijke verklaard.
Lebih dari itu, kepatuhan panitera atau pengadilan yang memutus perkara
terdahulu terhadap ketentuan hukum dan pedoman yang dikeluarkan oleh Ketua MA
menjadi kunci terlaksananya asas ne bis in idem dalam perkara
selanjutnya.
Di tulis oleh : Ulfia
Pamujiningsih, S.H., M.H. (Penata Pertanahan Pertama, Kanwil BPN Provinsi
Lampung) 8 Maret 2023