Rekonstruksi idealisme merupakan bagian yang sangat penting dalam reformasi
hukum, khususnya dalam upaya memberantas mafia hukum di Indonesia. Rekonstruksi
ini tidak hanya perlu dilakukan di dalam lembaga penegakan, tetapi perlu juga
bagi seluruh intelektual. Hal ini sangat penting mengingat hukum merupakan
sebuah sistem yang terbangun dari setidaknya substansi hukum, struktur hukum
dan budaya hukum, di mana intelektual memiliki peran besar di dalamnya.
Sayangnya beberapa intelektual justru menunjukkan gejala sebaliknya dengan
menolak menjadi saksi ahli di pengadilan dengan alasan tidak dibayar ketika
memberi kesaksian.
Keberhasilan peranan intelekual dalam pelaksanaan reformasi hukum tidak
bisa dilepaskan dari dukungan orientasi nilai budaya masyarakat. Dalam hal ini,
kaum intelektual itu harus bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan
orientasi nilai budaya yang mendukung reformasi hukum Indonesia. Sesuai dengan
hal tersebut, terdapat setidaknya tiga hal yang diharapkan dapat diperankan
oleh golongan intelektual. Pertama, memperluas pendidikan dan pencerdasan
kehidupan bangsa yang memperkuat peranan golongan terpelajar dalam perubahan
kemasyarakatan dan pemerintahan. Kedua, perlu menumbuhkan kembali idealisme di
kalangan intelektual. Ketiga, memperluas bentuk-bentuk pengabdian
profesionalisme (M.Dawam Rahardjo, 1993:71). Kedua hal ini sangat penting
dilakukan untuk memberikan kontribusi mengatasi berbagai persoalan bangsa,
termasuk memberantas mafia hukum. Dalam wilayah hukum praktis, peran
intelektual ini setidaknya dapat diimplementasikan ketika mereka diminta untuk
memberikan keterangan atau pendapat dalam kapasitas sebagai Ahli.
Keterangan Ahli dalam perkara pidana berdasarkan Pasal 1 angka
(28) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan Ahli itu sendiri adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia mempunyai keahlian khusus tentangnya.
Di dalam Pasal 71 ayat (1) Undang- Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Keterangan Ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal
yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ahli berbeda dengan Saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka (26) Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 jo. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia
alami sendiri. Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dan pengetahuannya itu.
Dari hal tersebut di atas jelas sekali perbedaan antara Saksi dan Ahli.
Saksi memberikan keterangan berdasarkan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri sedangkan Ahli memberikan keterangannya
berdasarkan keahlian khusus yang dimilikinya. Dengan demikian penggunaan
istilah Saksi Ahli dalam perkara pidana adalah istilah yang tidak tepat. Oleh
karena Saksi berbeda dengan Ahli, maka Ahli bukanlah subyek hukum yang berhak
mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, padahal seharusnya Ahli berhak pula
mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana halnya perlindungan yang diberikan
kepada Saksi.
Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku ditegaskan bahwa
baik Keterangan Ahli maupun Keterangan Saksi dalam perkara pidana adalah
sebagai alat bukti yang sah, oleh karena itu sudah seharusnya perlindungan
hukum sebagaimana diberikan kepada Saksi diberikan pula kepada Ahli.
Perlindungan hukum diberikan kepada Ahli hanya sekilas disebutkan dalam Pasal 9
ayat (1) huruf (d) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN), yaitu peran
serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara Negara yang bersih memperoleh
hak perlindungan hukum dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi; dan saksi
ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai masalah perlindungan terhadap Ahli juga diatur dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti
Korupsi, 2003). Di dalam Pasal 32 ayat (1) Konvensi tersebut disebutkan bahwa
Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat sesuai dengan
sistem hukum nasionalnya dan dalam kewenangannya untuk memberikan perlindungan
yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi para saksi dan
ahli yang memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan
sesuai dengan Konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, bagi keluarga mereka dan
orang-orang lain yang dekat dengan mereka.
Pembayaran Ahli
Sebelum menjawab apakah Ahli yang dimintai keterangannya dalam perkara
pidana baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan maupun dalam persidangan di
Pengadilan berhak untuk mendapatkan pembayaran atau tidak, maka terlebih dahulu
diuraikan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang Ahli berdasarkan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kewajiban Ahli adalah sebagai berikut: Pertama, Pasal 179 ayat
(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa “setiap orang yang
diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Kedua, Pasal 160 ayat
(4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa “Jika pengadilan menganggap
perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau
ahli tersebut selesai memberikan keterangan”.
Sedangkan hak Ahli adalah mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana telah
tersebut di atas. Selain itu, seorang Ahli mempunyai hak sebagaimana tersebut
di dalam Pasal 229 (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, yaitu bahwa “saksi
atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan
keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, kemudian di dalam Pasal 229
ayat (2) disebutkan bahwa “Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib
memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)”.
Berdasarkan pasal tersebut jelas disebutkan bahwa Ahli berhak untuk
mendapatkan pembayaran. Jadi Ahli pada saat tahap penyidikan dan di pengadilan
dalam setiap perkara pidana berhak untuk mendapatkan pembayaran, namun mengenai
jumlah besarnya berapa yang harus dibayarkan kepada Ahli belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Oleh karena itu untuk adanya suatu
kepastian hukum Pemerintah membuat aturan yang jelas mengenai besarnya jumlah
pembayaran yang dapat diterima oleh Ahli dalam memberikan keterangan pada
tahap pemeriksaan penyelidikan, penyidikan dan di persidangan di Pengadilan.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai siapa yang berkewajiban untuk membayar Ahli tersebut, namun untuk
sebagai bahan referensi pembentukan peraturan yang mengatur hal tersebut dapat
kita lihat dari peraturan dalam ranah hukum perdata.
Di dalam Pasal 49 ayat
(1-2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa atas perintah Arbiter atau
Majelis Arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang Saksi
atau lebih, atau seorang Saksi Ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak
yang meminta.
Dari pasal tersebut jelas bahwa kewajiban untuk membayar Ahli dibebankan
kepada pihak yang meminta. Dasar diaturnya hal ini adalah bahwa pada dasarnya
pihak yang meminta didatangkan Ahli adalah pihak yang mungkin posisinya menjadi
lebih kuat. Hal ini mungkin dapat diterapkan dalam perkara pidana, dimana pihak
Penyidik, Penuntut Umum atau Tersangka atau Terdakwa bisa mendatangkan Ahli
dengan kepentingan untuk menguatkan tuntutan atau dakwaan atau pembelaan dari
mereka dan tentunya kewajiban pembayaran dibebankan pada pihak yang
mendatangkan, karena dengan didatangkannya Ahli sedikitnya ikut membantu posisi
pihak yang mendatangkan Ahli.
Permasalahannya adalah tidak semua tersangka atau terdakwa mempunyai
kemampuan ekonomi yang cukup untuk membayar Ahli yang mereka datangkan,
sehingga dikarenakan ketidakmampuan ekonomi para tersangka atau terdakwa
tersebut tidak mendapatkan keterangan dari Ahli yang mungkin menguatkan posisi
mereka. Hal inilah yang perlu mendapatkan pengaturan pula sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan.
Ketentuan di dalam Pasal 16 ayat (1-3) Peraturan Mahkamah Agung No. 01
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan dapat kita rujuk untuk
memperkaya bahan pembentukan peraturan mengenai kepada siapa dibebankan
kewajiban untuk membayar Ahli. Di dalam PERMA tersebut dikatakan bahwa (1) Atas
persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau
lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan
yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. (2)
Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat
atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. (3) Semua
biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa biaya pemanggilan ditanggung oleh para
pihak berdasarkan kesepakatan, namun ketentuan ini akan sangat sulit untuk
diimplementasikan dalam perkara pidana, hal ini disebabkan posisi antara
tersangka/terdakwa dengan penyidik/penuntut dalam kedudukan yang tidak seimbang
sehingga akan sangat sulit sekali terjadi kesepakatan diantaranya.
Oleh karena belum adanya peraturan mengenai siapa yang berkewajiban untuk
membayar Ahli, maka perlu dicari formulasi peraturan yang tepat yang
mengakomodir pihak yang berkepentingan terutama kepentingan pihak
tersangka/terdakwa yang secara ekonomi lemah.
Meski peraturan menjadi bagian penting dalam penguatan peran Ahli, tetapi
secara moral sebenarnya terdapat tanggung jawab yang besar dari seorang Ahli.
Sebagai bagian dari komunitas intelektual, seorang Ahli perlu mengikis
keengganan berderma ilmu kepada masyarakat dan tetap memiliki empati sesama
manusia dan hidup selaras dengan sesamanya. Hal ini untuk mengantisipasi
pendapat Durkheim bahwa pada masyarakat yang semakin modern, rasa individunya
akan semakin meningkat, dan rasa kesadaran akan kelompoknya semakin rendah
(Koentjaraningrat, 1980: 90-92). Sebagaimana ungkapan Geery Spence “…tanpa budi
pekerti yang luhur, para ahli (intelektual) hukum hanya akan menjadi monster
dari pada malaikat penolong”.
Di tulis oleh : Arfan Faiz Muhlizi (Analis Hukum di BPHN) 20 Juni 2014