Negara
Indonesia merupakan negara demokrasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) UUD 1945. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berhubungan erat
dengan hukum. Tanpa adanya hukum, demokrasi akan menimbulkan anarki, sebaliknya
hukum tanpa sistem politik yang demokratis akan menjadi hukum yang elitis dan
represif (Moh. Mahfud MD, 2001). Menurut Pasal 3 The International
Commission of Jurist Conference tahun 1965, salah satu syarat dasar
yang harus dipenuhi oleh negara hukum dan demokrasi yaitu adanya pemilihan umum
yang bebas dan adil. Hal ini selaras dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, bahwa
Pemilu harus didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
Secara
yuridis. Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi. Namun apakah dalam
praktiknya Indonesia benar-benar sudah berdemokrasi? Wajah Indonesia dapat
terlihat pada momentum pesta Pemilihan Umum (Pemilu) berlangsung. Tak jarang
calon pasangan dalam Pemilu akan menghalalkan segala cara dan menggunakan
kekuasaannya untuk mencapai kemenangan, walaupun cara tersebut melukai
demokrasi. Salah satu cara “kotor” yang paling umum yaitu politik uang (money
politics). Politik uang merupakan fenomena umum yang sering terjadi pada
proses Pemilu di Indonesia. Praktik money
politics ini seperti menjadi sebuah tradisi pada ajang Pemilu di
Indonesia.
Survei dari Indikator Politik Indonesia (IPI) pasca-pencoblosan (exit
poll) tahun 2024, membuktikan bahwa terdapat mayoritas masyarakat
Indonesia pada pemilu 2024 yaitu sebesar 49,6% responden menyatakan bahwa
politik uang bukan merupakan hak yang wajar. Namun persentase tersebut ternyata
menurun dibanding pemilu tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2019 terdapat
lebih dari 67% masyarakat menilai bahwa politik uang tidaklah wajar. Lalu
survei menemukan bahwa terdapat 46,9% masyarakat di Indonesia pada Pemilu 2024
ini yang menilai bahwa politik uang dapat diterima dan diwajarkan. Persentase
ini meningkat sebesar 14% dibanding tahun 2019 yaitu sebesar 32% (Databoks,
2024).
Secara yuridis politik uang melanggar ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor
10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjdai UU yang menyebutkan bahwa “Calon dan/atau tim Kampanye
dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk
mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”. Bahkan ada sebuah
istilah yaitu “Democracy for sale” yang menggambarkan bahwa saat ini demokrasi
seperti sebuah transaksi yang dapat diperjualbelikan (Aspinall &
Barenschot, 2019). Politik uang jauh dari substansi demokrasi yang sebenarnya.
Pada negara demokrasi, Pemilu seharusnya berjalan dengan adil dan objektif,
yang dimana para calon pemimpin berjuang untuk memberikan aspirasi terbaik
untuk memajukan bangsa, bukan hanya dengan mengandalkan uang dan kekuasaan. Praktik politik uang kerap membuat kandidat-kandidat yang
memiliki potensi dan kualitas kalah dengan kandidat yang memiliki banyak uang.
Uang sebagai elemen utama dalam Pemilu juga akan berujung pada praktik korupsi.
Pada dasarnya, politik uang hingga kini masih laku sebab banyaknya
masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa politik uang memang bagian dari
proses pemilu. Ada tiga faktor yang menyebabkan politik uang terus saja laku,
di antaranya: pertama, faktor politik. Praktik politik uang
terus dipergunakan oleh para calon karena kurangnya ide inovasi dan pembaharuan
yang dapat ditawarkan untuk memajukan daerah, sehingga uang menjadi jalan untuk
mencapai kemenangan. Kedua, faktor hukum. Di Indonesia
regulasi terkait politik uang sangat lemah dan belum memadai. Politik uang
dapat ditemukan dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284,
Pasal 286 ayat (1), Pasal 515 dan Pasal 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada dasarnya pasal-pasal tersebut melarang para
calon dan partai politiknya untuk menjanjikan/memberi imbalan uang kepada para
pemilih. Ketiga, faktor budaya juga berperan penting dalam
perpetuasi praktik politik uang di Indonesia. Pemahaman seperti “tidak boleh
menolak rezeki” ataupun tidak terbiasa jika menolak dan tidak membalas
pemberian orang lain (ACLC KPK, 2024) merupakan salah satu hal dalam faktor
budaya ini. Selain tiga faktor tersebut, politik uang dipicu oleh
tingginya tingkat kesenjangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Kondisi ini
mendorong individu untuk berjuang keras mendapatkan uang demi memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Ketika Pemilu tiba, praktik politik uang akan membuat
masyarakat yang hidup dalam kondisi sulit dan keterpurukan melihat pemilu
sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (uang), alih-alih
menggunakan hak suara mereka secara rasional dan berdasarkan pada hati nurani.
Politik uang ini harus segera diberantas karena melukai demokrasi dan
membuyarkan rasionalitas. Beberapa langkah untuk memberantas antara lain: Pertama, edukasi
politik warga masyarakat. Mendidik masyarakat merupakan sebuah prioritas utama
untuk mengatasi keberadaan politik uang. Penting untuk mengubah pola pikir
pemilih agar dapat memilih calon pemimpin yang rasional dan sesuai hati nurani,
bukan berdasarkan imbalan yang diberi. Proses ini tentu tidak akan mudah,
terutama di kalangan masyarakat kurang mampu. Kedua, penguatan
regulasi terkait politik uang. Di Indonesia, aturan mengenai politik uang hanya
dapat ditemukan dalam beberapa pasal pada UU Pemilu. Namun pada praktiknya,
penegakan UU tersebut kurang tegas dan tidak konsisten. Pengawasan serta
pemberian sanksi terhadap para pelanggar juga sangat lemah, sehingga praktik
politik uang tetap menjadi kebiasaan yang umum terjadi saat pemilu. Ketiga, pengawasan
pergerakan terhadap aktivitas para kandidat sangat penting. Pengawasan ini
memerlukan partisipasi bersama dari semua pihak, baik instansi yang berwenang
maupun masyarakat yang membuat pengaduan/laporan. Dengan kolaborasi ini, kita
dapat memastikan bahwa praktik politik uang dapat diminimalisisasi dan
transparansi dalam proses pemilu terjaga.
Upaya untuk memberantas politik uang harus dilakukan dengan serius.
Kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang lebih serius lagi,
yaitu: Pertama, meningkatnya jumlah pemimpin yang tidak
berkualitas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga akan
berdampak pada kesenjangan dan kemiskinan yang berlarut serta tidak tercapainya
kesejahteraan sosial. Kedua, politik uang berpotensi pada
tindak pidana korupsi yang jelas melanggar Asas Umum Pemerintahan Negara Yang
Baik (AAUPB), yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma
hukum, untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme (Pasal 1 angka (6) UU Nomor 28 Tahun 1999
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme). Ketiga, buruknya pola pikir masyarakat dapat
mengarah pada normalisasi praktik politik uang, yang akibatnya juga menciptakan
penormalisasian terhadap praktik korupsi dan praktik-praktik sejenis. Keempat, ketidakpuasan
masyarakat akan kinerja pemimpin meningkat. Pemimpin yang mengandalkan politik
uang pada masa pemilu cenderung fokus pada kepentingan pribadinya semata dan
tidak berfokus pada aspirasi serta kebutuhan rakyatnya. Kelima, praktik
ini menciptakan masyarakat yang tidak mampu berpikir kritis dan rasional dalam
menggunakan hak pilih mereka. Dan yang paling krusial,
praktik politik uang melukai demokrasi.
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=962