Indonesia
dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, salah satunya
adalah sumber daya mineral dan bahan tambang. Sebagai negara kepulauan yang
terletak di jalur pegunungan muda Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania,
Indonesia dikaruniai berbagai jenis bahan tambang strategis seperti batu bara,
nikel, emas, tembaga, timah, bauksit, dan lainnya. Kekayaan tambang ini tersebar
di hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, hingga Papua.
Potensi
ini menjadikan sektor pertambangan sebagai salah satu penopang utama
perekonomian nasional, baik dari sisi penerimaan negara, penyerapan tenaga
kerja, maupun kontribusinya terhadap ekspor. Namun demikian, pengelolaan
sumber daya tambang di Indonesia juga dihadapkan pada berbagai tantangan
seperti kerusakan lingkungan, konflik lahan, serta ketimpangan distribusi
manfaat ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan tata kelola pertambangan yang
adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Untuk
mengelola sumber daya ini, dibutuhkan kerja sama antar berbagai pihak dalam
bentuk perjanjian, baik antara perusahaan swasta, pemerintah, maupun masyarakat
pemilik lahan. Namun, perjanjian di sektor pertambangan memiliki karakteristik
khusus yang membedakannya dari perjanjian kerja sama di sektor lainnya, seperti
sektor perdagangan, pertanian, jasa, atau manufaktur.
Perjanjian Menurut KUHPerdata
A. Dasar Hukum Perjanjian dalam KUHPerdata
Menurut
Pasal 1313 KUHPerdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
Perjanjian menciptakan perikatan hukum, yakni hubungan antara dua pihak atau
lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban. Sementara itu, menurut Pasal 1320
KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat syarat:
a.
Kesepakatan para pihak yang mengikat;
b.
Kecakapan hukum untuk membuat suatu perjanjian;
c.
Suatu objek tertentu;
d.
Suatu tujuan yang halal.
Kegiatan pertambangan bersifat padat modal, berisiko
tinggi, serta memiliki dampak lingkungan dan sosial, maka pengelolaannya
membutuhkan perjanjian kerja sama yang kompleks dan multidimensi. Dalam konteks inilah, perjanjian bukan hanya mencakup
aspek bisnis, tetapi juga menyangkut aspek hukum, lingkungan, sosial, dan
perizinan pemerintah
B.
Penerapan Perjanjian dalam Praktik Pertambangan
Penerapan perjanjian dalam praktik pertambangan di
Indonesia melibatkan berbagai jenis kontrak dan perjanjian yang bertujuan untuk
mengatur hubungan antara pemerintah, Perusahaan pertambangan dan pihak yang
terlibat. Perjanjian ini mencakup berbagai aspek, mulai dari izin usaha, kerja
sama hingga pengolaan sumber daya alam. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin yang di berikan oleh Pemerintah
kepada Perusahaan untuk melakukan usaha pertambangan, baik untuk komoditas
mineral maupun Batubara. IUP dan IUPK ini mengatur hak dan kewajiban pemegang
izin termasuk kewajiban reklamasi dan pengolahan hasil tambang. Selain itu, ada
juga perjanjian kontrak karya (KK) yang merupakan perjanjian antara Pemerintah
dengan pihak Perusahaan berbadan hukum di Indonesia untuk melakukan kegiatan
usaha Pertambangan Mineral. Berbeda dengan Batubara, untuk perjanjian antara
pemerintah dengan Perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan Usaha
Pertambangan Batubara yaitu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B). Tahapan proses pembuatan perjanjian dalam praktik pertambangan secara
umum meliputi:
a.
Studi Geologi dan Eksplorasi awal
Tahap awal dalam kegiatan pertambangan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi suatu titik wilayah dengan dilakukan pemetaan bertujuan mengidentifikasi struktur di dalamnya, pengambilan sampel isi kandungan mineral/batubaranya untuk uji laboratorium, Melihat pola geologi secara makro dan menentukan target eksplorasi tahap awal. Setelah dilakukannya studi Geologi, maka akan dilaksanakan Eksplorasi awal sebagai tahap lanjutan untuk mengonfirmasi indikasi keberadaan mineral/Batubara di Lokasi tertentu. Dilakukan hal tersebut guna untuk memperkirakan luas penyebaran Cadangan mineral di Lokasi tersebut dan menghitung jumlah deposit dari kandung mineral/Batubaranya.
b.
Pengajuan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Seperti yang sudah di lampirkan penjelasan dari IUP di atas, sebelum mengajukan IUP maka pemohon harus mengikuti proses Lelang di suatu Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang di tetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM. Setelah memenangkan WIUP maka pemohon dapat mengajukan IUP Eksplorasi guna untuk melakukan penyelidikan umum, Eksplorasi dan studi kelayakan. Setelah tahap eksplorasi berhasil dan mempunyai Cadangan deposit yang layak, maka pemegang IUP Eksplorasi dan mengajukan IUP Operasi Produksi agar dapat kewenangan untuk membangun Infrastruktur pendukung seperti Jalan Tambang (hauling), Pelabuhan Khusus (jetty), Pabrik pengolahan/pencucian, dll.
c.
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak dan Lingkungan
(AMDAL)
Dalam pertambangan dengan skala besar atau berada di wilayah Hutan Lindung dan dekat dengan Kawasan pemukiman bertujuan melihat dampak yang akan di hasilkan dikemudian hari. Karena dalam kegiatan pertambangan akan menghasilkan limbah yang kemudian dapat mencemari dari sisi udara, tanah, dan air. Dengan adanya penyusunan AMDAL tersebut maka dapat menekan dampak dengan cara pemantauan pengolahan limbah pabrik tersebut dan reklamasi.
d.
Implementasi dan Monitoring
Implementasi
perjanjian adalah tahapan pelaksanaan dari seluruh hak dan kewajiban yang di
sepakati, mulai dari teknis operasional hingga administratif dan finansial.
Langkah implementasi perjanjian tambang meliputi penjabaran Rencana Kerja dan
Anggaran Biaya (RKAB) berisi pembagian jumlah kuota yang harus di release dari
hasil tambang yang sudah di kumpulkan untuk dijual. Kemudian pengawasan
lingkungan yang terdiri dari dokumen AMDAL dan Jaminan Reklamasi.
Dinamika Perjanjian
Kerja Sama di Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor strategis yang berperan
penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun, di balik potensinya yang
besar, sektor ini juga menyimpan kompleksitas dalam penyusunan dan pelaksanaan
perjanjian. Perjanjian di bidang pertambangan tidak hanya menyangkut hubungan
hukum antar pelaku usaha dan pemerintah, tetapi juga berdampak luas terhadap
masyarakat, lingkungan, dan kepentingan negara. Salah satu dinamika utama dalam
pembuatan perjanjian di sektor pertambangan terletak pada aspek hukumnya.
Pembuatan perjanjian harus mengacu pada regulasi nasional yang berlaku,
terutama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara sebagaimana diubah terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam perkembangannya,
pemerintah Indonesia berupaya menghapus rezim kontrak yang memberikan
perlindungan terlalu besar pada investor asing, dan menggantinya dengan rezim
izin yang lebih fleksibel namun tetap menjamin kepastian hukum. Dari sisi
ekonomi, sektor pertambangan membutuhkan modal yang sangat besar dengan risiko
tinggi. Oleh karena itu, para investor memerlukan kepastian hukum dan
stabilitas perjanjian jangka panjang untuk menjamin pengembalian investasi.
Inilah yang membuat perjanjian tambang cenderung dinegosiasikan secara panjang
dan mendetail. Hal-hal yang sering menjadi pokok bahasan dalam negosiasi
meliputi:
- Pembagian hasil tambang antara pemerintah dan pelaku
usaha (misalnya royalti, pajak, divestasi).
- Jangka waktu perjanjian dan perpanjangan.
- Berkewajiban membangun smelter di
dalam negeri.
- Fleksibilitas terhadap fluktuasi harga komoditas di
pasar global.
Investor menuntut perlindungan terhadap risiko bisnis, seperti perubahan
kebijakan atau ketidakstabilan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, negara
juga mengutamakan prinsip keadilan ekonomi dan kedaulatan sumber daya alam. Dalam pembuatan perjanjian pertambangan juga harus
mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. Banyak kasus konflik sosial yang
muncul akibat lemahnya pelibatan masyarakat lokal dalam proses perizinan dan
pengambilan keputusan. Berikut kewajiban yang
penting untuk dilakukan:
- Kewajiban
penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebelum kegiatan
pertambangan dimulai.
- Pelaksanaan
CSR (Corporate Social Responsibility) untuk meningkatkan
kesejahteraan Masyarakat dengan cara memberikan retribusi desa kepada
Masyarakat di sekitar tambang atau menjalankan Program Pemberdayaan
Masyarakat (PPM).
- Pengelolaan dampak lingkungan, termasuk reklamasi
dan pascatambang.
- Persetujuan dari masyarakat adat atau masyarakat
hukum tradisional.
Konflik lahan, penggusuran, dan pencemaran lingkungan sering kali menjadi
batu sandungan dalam pelaksanaan perjanjian. Oleh karena itu, aspek sosial dan
lingkungan tidak bisa hanya menjadi pelengkap, tetapi harus menjadi bagian
integral dari isi perjanjian. Perjanjian pertambangan juga dipengaruhi oleh
dinamika politik nasional maupun internasional. Pemerintah, sebagai pemilik sah
sumber daya alam, sering mengubah kebijakan sebagai bentuk kontrol terhadap
pengelolaan kekayaan negara. Misalnya Kewajiban hilirisasi dan pelarangan
ekspor bahan mentah, Kebijakan divestasi saham kepada BUMN atau swasta
nasional, dan Penerbitan peraturan baru yang dapat mengubah skema kontrak.
Perubahan regulasi seperti ini sering menimbulkan ketegangan antara pemerintah
dan investor. Bahkan, tak jarang berujung pada arbitrase internasional. Oleh
karena itu, klausul force majeure dan penyelesaian sengketa menjadi sangat
penting dalam struktur perjanjian.
Penutup
Perjanjian kerja sama di sektor pertambangan merupakan instrumen hukum yang vital dalam menjamin kelancaran, kejelasan tanggung jawab, dan keberlanjutan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Agar dapat menciptakan hubungan kerja sama yang adil, saling menguntungkan, dan berlandaskan hukum, maka perjanjian tersebut harus disusun dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, prinsip kehati-hatian, serta kesepakatan yang menjunjung tinggi transparansi dan tanggung jawab sosial. Ke depan, reformasi hukum kontrak di sektor ini perlu terus ditingkatkan agar mampu menjawab dinamika investasi, tata kelola lingkungan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat lokal.
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=1025