Patut
untuk diketahui bersama, bahwa membicarakan tentang korporasi pada hakikatnya
tidak bisa melepaskan hal tersebut dari bidang hukum perdata. Sebab korporasi
merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechtpersoon),
dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan
bidang hukum perdata (Harahap, 2017: 40). Dengan merujuk kepada konsep
korporasi dalam hukum perdata, maka patut dikemukakanlah pandangan Subekti dan
Tjitrosudibio yang mendefinisikan corporatie atau korporasi adalah suatu
perseroan yang merupakan badan hukum (Subekti dan Tjitrosudibio, 1979: 34).
Kendatipun
demikian, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Wirjono Prodjodikoro dalam
bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia” yang menyatakan bahwa : Dengan
adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut
serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari
perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan
berbagai tindak pidana. Dalam hal ini,
sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu
orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya
seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya
melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata
gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan
hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana (Prodjodikoro, 1989: 55).
Mencermati konsepsi intelektual dari Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas,
adalah menjadi semakin menarik ketika dianalisa lebih jauh bahwa suatu
perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan pidana sebagai subjek
suatu tindak pidana. Oleh karena itulah, tulisan ini fokus mengungkap
eksistensi pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana
berdasarkan ketentuan sistem pemidanaan (substantif) di Indonesia saat ini (Ius
constitutum) dan bagaimanakah prospeknya di masa akan datang (ius constituendum).
Secara yuridis-formal bahwa pada awalnya dalam hukum pidana Indonesia,
korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana. Manusia alamiah (natural
person) merupakan satu-satunya yang dikenal sebagai subjek hukum pidana pada
saat itu. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui ketentuan dalam KUHP (WvS) yang memandang suatu delik hanya dapat
dilakukan oleh manusia, yakni khususnya dalam formulasi Pasal 59 KUHP (WvS)
yang berbunyi:
“Dalam hal-hal di mana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota
badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tidak dipidana”.
Lebih jelas lagi, bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 51
Ned.WvS (Pasal 59 KUHP/WvS) dinyatakan: “suatu strafbaarfeit hanya dapat
diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum (dibaca: korporasi, pen.)
tidak berlaku di bidang hukum pidana” (A.Z. Abidin dkk, 1962: 14).
Pemikiran tersebut di atas pada hakikatnya dilatar belakangi karena di
Negeri Belanda pada saat KUHP (WvS) dirumuskan oleh para penyusunnya pada tahun
1886, adalah menerima asas “societas/ universitas delinquere non potes” bahwa
badan hukum atau perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana (Muladi, 2002:
157).
Kendatipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan zaman
yang memberi peranan strategis kepada korporasi pada kegiatan sehari- hari
dalam lapisan masyarakat mendorong untuk dilakukannya terobosan baru. Seperti
dalam KUHP Belanda saat ini saja telah mengalami perubahan besar dari KUHP
Belanda terdahulu, khususnya terkait korporasi. Dasar hukum mengenai korporasi
sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana ada dalam KUHP Belanda, yang
ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 khususnya dalam formulasi Pasal 51 KUHP
Belanda yang isinya menyatakan antara lain:
a)
Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perseorangan
maupun oleh korporasi;
b)
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi,
penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan
(maatregelen) yang disediakan dalam perundang- undangan sepanjang berkenaan
dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat
dilakukan terhadap:
1)
Korporasi sendiri, atau
2)
Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk
melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual
memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
3)
Korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama
secara tanggung-renteng
c)
Berkenaan dengan penerapan butir- butir sebelumnya yang
disamakan dengan korporasi adalah persekutuan bukan badan hukum, maatschap
(persekutuan perdata), redenj (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta
kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu, social fund (yayasan)
(Remmelink, 2003: 98-103).
Adalah merupakan
sebuah realita, bahwa dewasa ini korporasi semakin memegang peranan yang
penting dalam kehidupan masyarakat. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana
sekaligus yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser.
Doktrin yang mewarnai WvS Belanda 1886 yakni, “societas /universitas delinquere
non potes” sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep
pelaku fungsional. Menurut Rolling pembuat delik memasukkan korporasi ke dalam
functioneel daderschap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai
peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan mempunyai banyak fungsi, yaitu
sebagai pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain
(Muladi dan Priyatno, 2008: 17).
Selanjutnya patut dikemukakan juga pandangan Pujiyono, bahwa pengaturan
korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan
pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu
adanya perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang
ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana
tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natuurlijke persoon) tetapi
meliputi pula korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula
dilakukan oleh korporasi (Pujiyono, 2019: 7-8).
Di Indonesia, pergeseran manusia sebagai satu-satunya subjek tindak pidana
mulai terlihat dalam UU Khusus di luar KUHP (Lex Specialis). Sebagaimana pernah
diungkap oleh Sudarto berikut ini: misalnya dalam “Ordonansi Barang-Barang Yang Diawasi” (S.1948 295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi
itu. Kemudian juga terlihat dalam “Ordonansi Obat Bius” (S. 27–278 Jo. 33–368)
Pasal 25 ayat (7). Serta dalam Pen. Pres. tentang “Pemberantasan Kegiatan
Subversi” (No.11/1963). (Sudarto, 2009: 102)
Lebih tegas lagi, adalah tampak dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang secara tegas
menyebutkan “badan hukum” sebagai subjek hukum, khususnya dalam formulasi Pasal
15 ayat (1) yang berbunyi:
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata
tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana
ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian
itu, maupun terhadap kedua-duanya”.
Beranjak ke uraian berikutnya, adalah menarik sekali untuk dicermati
berbagai UU yang mengakui eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Seperti dalam ketentuan
formulasi Pasal 14 UU No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat yang berbunyi: “Perusahaan negara dan swasta
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan
mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatan, pendidikan dan
kemampuannya, yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi
perusahaan”. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 tersebut
dinyatakan bahwa: “Perusahaan negara meliputi BUMN dan BUMD sedang perusahaan
swasta termasuk di dalamnya koperasi”. Dengan demikian, menurut UU No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat tersebut, jelas sudah mengenal subjek hukum
berupa korporasi.
Sebagai bahan pembanding, maka dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
khususnya ketentuan formulasi Pasal 1 angka 9 yang menyebutkan bahwa: “setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi”. Selanjutnya, Pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa
“korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Dengan demikian, menurut UU
TPPU subjek hukum pidana yang diakui dalam tindak pidana pencucian uang tidak
hanya “orang perseorangan” tetapi juga “korporasi”.
Sementara itu, apabila kita cermati pada produk legislasi nasional lainnya,
misal ketentuan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 1 ayat (14),
dinyatakan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan”.
Jadi dari formulasi beberapa UU di atas, tersusun analisis sebagai berikut:
a.
Bahwa terdapat “penyebutan istilah” yang masih
berbeda-beda/ belum seragam. UU Penyandang Cacat menggunakan istilah
“perusahaan negara dan swasta”, sementara UU TPPU sudah secara eksplisit
menggunakan istilah “Korporasi”, namun demikian UU Perdagangan tidak
menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara tegas tetapi hanya
dengan menggunakan istilah “badan usaha”.
b.
Bahwa terhadap “penempatan istilah dan pengertian
korporasi” juga masih beragam. UU TPPU dan UU Perdagangan telah menempatkan
rumusan istilah dan pengertian korporasi ke dalam ketentuan umum (Pasal 1),
sementara itu UU Penyandang Cacat menempatkan istilah korporasi ke dalam pasal
tersendiri dan pengertian korporasi ke dalam penjelasan pasal yang
bersangkutan.
c.
Bahwa satu hal menarik yang juga patut dikemukakan, bahwa
pemaknaan terhadap korporasi dalam UU Penyandang Cacat masih terbatas pada
badan hukum saja. Sementara UU TPPU dan UU Perdagangan sudah mencakup
korporasi, baik yang berupa badan hukum maupun non badan hukum Patut
dikemukakan pandangan Barda Nawawi Arief dalam bukunya “Kapita Selekta Hukum
Pidana” yang menyimpulkan bahwa pengertian korporasi di setiap Undang-Undang
Khusus yang memuat istilah korporasi adalah sebagai berikut:
1)
Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya
untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam UU khusus.
2)
Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tapi
digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten.
3)
Istilah korporasi mulai terlihat pada tahun 1977 dalam UU
Psikotropika dan dipengaruhi istilah dalam konsep KUHP 1993.
4)
Umumnya istilah korporasi dimuat dalam ketentuan umum
(Pasal 1), tetapi ada juga yang memasukkan dalam penjelasan pasal yang
bersangkutan (Arief, 2013: 179).
Sementara itu, apabila melihat prospek ke depannya terkait pengaturan
korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka kita bisa melihatnya ke dalam RUU
KUHP Baru. Sebab pada hakikatnya penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan
salah satu usaha dalam rangka pembangunan (pembaharuan-pen.) hukum pidana
nasional (Soponyono, 2017: 1).
Eksistensi korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut tampak dalam
Ketentuan Formulasi Pasal 45 ayat (1) RUU KUHP 2019, ditegaskan bahwa Korporasi
merupakan subjek tindak pidana. Lebih lanjut, dalam ketentuan formulasi Pasal
45 ayat (2) RUU KUHP 2019 dinyatakan bahwa: “Korporasi sebagaimana dimaksud
ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan,
koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang
disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer,
atau yang disamakan dengan itu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Akhirnya, patut untuk diperhatikan pula penjelasan umum RUU KUHP 2019 Buku ke I, khususnya pada butir ke-5 yang menyatakan bahwa: Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=339